IdEA: Aturan Pajak Jangan Hambat E-Commerce!

Perekonomian Indonesia tengah mengalami perkembangan signifikan, terutama untuk aktivitas-aktivitas ekonomi berbasis elektronik. Hal ini sejalan dengan tren ekonomi global yang mengalami transformasi, dari yang sebelumnya konvensional menjadi serba digital.

Fenomena digitalisasi ekonomi yang dikenal dengan istilah Revolusi Industri 4.0 ini tidak hanya menghadirkan banyak peluang, tetapi juga tantangan di berbagai bidang. Termasuk di sektor perpajakan, yang memaksa setiap yurisdiksi memutar otak untuk meredam erosi penerimaan pajak yang timbul akibat booming digital economy.

Indonesia, dengan populasi penduduk terbesar keempat di dunia—setelah Tiongkok, India, dan Ameriak Serikat—merupakan salah satu pasar ekonomi digital terbesar. Hal itu tercermin dari geliat industri e-commerce dan fintech nasional yang mengalami pertumbuhan sangat masif dalam beberapa tahun terakhir. Tren ini pula yang membuat labil pemerintah dalam menerapkan aturan perpajakan terhadap transaksi bisnis berbasis digital.

Tarik-ulur kebijakan perpajakan di sektor ekonomi digital menjadi perhatian serius para pelaku bisnis digital, terutama industri e-commerce. MUC Tax Guide belum lama ini berkesempatan berdiskusi secara langsung dengan Ketua Indonesian E-commerce Association (IdEA) Ignatius Untung guna menyerap aspirasi pelaku industri. Berikut nukilan diskusi kami:

Bagaimana kondisi dan perkembangan industri e-commerce Indonesia dari kacamata IdEA?

Perkembangan industri e-commerce sejauh ini masih cukup positif, tantangannya masih tidak sebesar peluangnya. Jadi, pertumbuhannya masih bagus terus. Pemain baru bermunculan, yang sudah ada semakin besar lagi. Walaupun ada beberapa perusahaan yang kalah karena seleksi alam, harus merger, atau akuisisi dan konsolidasi. E-commerce yang tutup juga ada, tetapi tidak sebanyak yang baru buka.

Berapa banyak pelaku e-commerce yang menjadi anggota IdEA saat ini?

Total anggotanya ada 146 pelaku e-commerce.

Apakah ada kriteria khusus untuk bisa bergabung dengan IDEA?

Kriterianya sebenernya sederhana. Pertama, harus berbentuk Badan Usaha Tetap (BUT) di Indonesia. Kedua, perusahaan yang bersinggungan dengan e-commerce, syukur-syukur memang e-commerce. Jadi supporting e-commerce bisnis juga bisa gabung. Jadi tidak hanya yang melakukan perdagangan elektronik

Pemerintah sempat mengeluarkan peraturan pajak khusus e-commerce (PMK No. 210/PMK.010/2018), walaupun kemudian dicabut kembali. Bagaimana IdEA melihat ini?

Sebetulnya inti dari PMK tersebut tidak ada masalah buat kita, kecuali bagian level playing field. Selama aturan itu diberlakukan serempak untuk semua bisnis model termasuk social media, harusnya itu tidak apa-apa. Nah, yang jadi tanda tanya besar buat kita adalah, apakah kebijakan itu akan dijalankan kepada social media? Kalau tidak, ya tidak bisa. Nanti pedagangnya lari semua ke social media.

Kedua, yang perlu disoroti adalah adalah komunikasi yang tidak smooth dari pemerintah. Artinya, ketika mau mengeluarkan aturan-aturan begini daripada langsung dikeluarkan dan bikin rame mendingan dipanggil saja stakeholders-nya, sampaikan maksud dan tujuan dari rancangan peraturannya untuk minta tanggapan dari kita bagaimana. Jadi, kalau ada keberatan bisa langsung dikomunikasikan.

Jadi, sebelum dikeluarkan belum ada pertemuan?

Pernah ada pertemuan sekali, tetapi janjinya akan ada pertemuan lagi. Tetapi ternyata langsung dikeluarkan.

Pasca aturan dikeluarkan, pernah ada diskusi dengen pemerintah. Solusi yang akan dilakukan seperti apa?

Sekarang kita sepakat bahwa semangatnya sama dulu, bahwa kita ada masalah. DJP mau memperkaya database pajak, tetapi di sisi lain kita juga tidak mau ditumpangi dan dipukul rata. Dalam artian, ada pedagang yang hidupnya belum bergantung dari berdagang. Ada yang masih coba-coba. Kalau masih coba-coba dan belum bergantung pada berdagang terus dibebani dengan kewajiban menyampaikan NPWP, atau “ditakut-takuti” dengan itu, ya mereka akan kabur. Nah, mereka yang sudah bergantung (dari berdagang online) ya tidak ada pilihan, kalau diminta setor NPWP ya harus mau. Dua hal itu yang penting.

Bagaimana caranya memilah mana yang sudah wajib NPWP dan yang belum?

Proposalnya ada beberapa versi. Tetapi salah satu yang menguat adalah di kategori usaha mikro, yang omzetnya Rp 300 juta setahun, tidak perlu NPWP. Usaha yang di atas mikro (menengah ke atas) wajib menyampaikan NPWP.

Soal data pendapatan bruto IdEA akan bantu sediakan?

Iya, betul. (Pasokan data) dari player sih sebetulnya.

Seberapa besar sih jumlah pedagang e-commerce yang hanya coba-coba?

Kalau menurut data kita 80% dari total pelaku e-commerce adalah pengusaha mikro, dominan sekali. Artinya kalau regulasi ini dikenakan ya tidak akan banyak yang bisa dikenakan.

Kalau e-commerce dijadikan agen pemerintah untuk memungut pajak bagaimana?

Kalau itu kita keberatan, karenanya kita harus bicara dulu compliance pajaknya. Contoh ketika kita disuruh untuk menerima data NPWP, bisa tidak kita memverifikasi NPWP tersebut benar atau tidak. Kalau tidak bisa, ya percuma, nanti orang asal-asalan saja mengisi NPWP. Sementara banyak orang yang sudah takut duluan. Itu saja sudah complicated.

Sejauh ini, secara sistem memungkinkan tidak e-commerce secara platform dijadikan sebagai pemotong pajak?

Bisa saja, asalkan ya itu tadi. Pertama level of playing field-nya dijalankan. Kedua, ada kelompok usaha yang coba-coba jangan (diwajibkan) dulu mendingan.

Selain aturan perpajakan, sebetulnya regulasi seperti apa yang lebih diperlukan oleh pelaku e-commerce?

Regulasi yang diperlukan, misalnya, terkait dengan persaingan usaha. Jadi bagaimana caranya pemain ini tidak perang harga terus atau banting-bantingan harga dengan cara memberikan subsidi terus. Kalau terus-terusan begitu ya babak belur, pasarnya tidak akan sustain.

Itu yang terjadi saat ini?

Iya, terjadi. Karena masih dalam proses akuisisi.

Bagiaana IdEA melihat Roadmap E-commerce yang disusun Pemerintah Indonesia?

Sulit untuk berkomentar tentang Road Map e-commerce. Karena sejak saya menjabat belum pernah menerima draftnya. Jadi, Tidak tahu apa yang perlu dikomentari. IdEA pernah diajak bicara soal Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Road Map e-commerce itu tahun 2013, sebelum kepengurusan saya. Habis itu, tida pernah ada lagi. Tahu-tahunya sudah terbit Peraturan Pemerintahnya. Apakah itu sudah sesuai dengan pembicaraan terakhir, kan kita tidak tahu juga.

Kemarin juga sempat ramai soal Research & Development di sektor digital, bagaimana support pemerintah terkait R&D?

Kalau R&D di industry digital, yang dipermasalahkan bukan soal R&D yang masuk ke swasta tetapi anggaran pemerintah yang masuk ke kampus-kampus. Kalau dibilang sudah cukup atau belum (dukungan pemerintah untuk R&D) ya tidak akan pernah cukup. Tapi kalau kita lihat data terakhir itu, gap kita dengan Singapura itu tidak terlalu jauh. Jadi harusnya ya tidak terlalu jelek (dukungan pemerintah) ya—kalau tidak bisa dibilang bagus. Kedua, kan banyak juga R&D swasta yang berkerja sama dengan kampus-kampus untuk bikin lab. Jadi ya kolaborasi saja sama-sama.

Berapa populasi pelaku e-commerce di Indonesia berdasarkan data terakhir IdEA (2018)?

Perhitungan populasi e-commerce (2018) sekitar 31 juta. Datanya dari mana? ya dari berbagai sumber, data sekunder ya.

Ada target tertentu dari IdEA terkait perkembangan industri e-commerce ini?

Buat kita ya jalanin saja dulu. Karena susah untuk membuat target harus tahu arah kebijakannya bagaimana. Kalau kebijakannya saja tidak tahu, bagaimana kami bisa buat target.

Di tahun 2019, tantangan terberat yang dihadapi industri apa?

Tantangan terberat mungkin goreng-gorengan politik. Ketika banyak orang mau mencalonkan diri jadi anggota legislatif, presiden, terus berusaha bersuara agar diajak jadi Menteri, ini mulai mengangkat isu-isu yang remeh-temeh dan malah memperkeruh suasana. Mendingan ya sudah jadi pejabat saja dulu, baru ngomongin kebijakannya mau bagaimana.

WhatsApp WhatsApp us